Monday, August 15, 2011

Ketika Pengukuhan Paskibraka Menjadi Seremonial...

“It’s just a game!”

Itulah sebuah kalimat yang pernah saya dengar dari mulut Kak Idik Sulaeman, tentang konsep dasar Latihan Paskibraka. Sekilas, tampak seperti guyonan. Tapi jangan lupa, kalau akar dari Latihan Paskibraka sebenarnya dari Kepanduan/Kepramukaan: belajar dan berlatih sambil bermain! Jadi, sangat tak salah kalau dalam Pedoman Latihan Paskibraka (dulu... entah sekarang...) disebutkan suasana latihan diciptakan serius, tapi selalu riang gembira.

Pengukuhan pun, dulunya hanya sebuah acara kecil yang dilaksanakan di belakang asrama. Pemasangan lencana MPG (Merah-Putih-Garuda) dan kendit kecakapan, hanya dilakukan oleh Kak Husein Mutahar atau Kak Idik. Lagi-lagi, kata Kak Slamet Rahardjo (mantan PGM yang lebih seperempat abad menjadi saksi hidup latihan Paskibraka), mirip main-mainan...

Begitulah memang gaya Pandu, dan dari sanalah memang Mutahar dan Idik berasal. Apakah benar main-main? Jawabannya tak semudah itu.

Mutahar dan Idik adalah dua “manusia antik” di negeri ini. Mereka telah melahirkan banyak karya monumental, namun tak banyak orang kenal siapa mereka. Kini, Mutahar hanya dikenal dari lagu-lagu ciptaannya. Sementara Idik? Tak banyak yang tahu kalau semua atribut dan seragam sekolah, sebagian besar atribut Pramuka, dan seluruhnya atribut dan seragam Paskibraka, adalah hasil karyanya...

Pasangan Mutahar-Idik lah yang telah menyusun “main-mainan” dalam latihan Paskibraka (yang bernama lengkap “LATIHAN PANDU IBU INDONESIA BER-PANCASILA”), mulai dari konsep Desa Bahagia, Renungan Jiwa, sampai Pengukuhan Paskibraka. Semuanya dirancang utuh, ibarat ritual yang saling berkait dan tak boleh ditinggalkan. Mereka pun menyiapkan pedoman detail tentang prosesi ritual-ritual itu, dengan harapan “ruh” yang ada dalam setiap ritual tidak hilang.

Bulu kuduk saya merinding bila teringat itu... (Mirip seperti hadist Nabi Muhammad tentang petunjuk shalat: Jangan sekali-sekali tinggalkan niat, takbiratul ihram, Al Fatihah, rukuk, i’tidal, sujud, dst... Kalau tertinggal, shalat jadi tidak sah...)

Iseng-iseng.... saya menemukan buku kecil tentang “DESA BAHAGIA” yang disusun oleh Direktorat Pembinaan Generasi Muda (PGM) di tahun 1986. Kak Nasrun Azhar, Direktur PGM saat itu, masih sempat meninggalkan kenang-kenangan tentang sebuah konsep “LATIHAN PANDU IBU INDONESIA BER-PANCASILA” —yang masih lumayan utuh— dari zaman Kak Idik.

Latihan ini dinamakan LKKP (Latihan Kepemimpinan dan Keterampilan Pemuda), dan pernah dilaksanakan bagi siswa SMA (OSIS) di seluruh Indonesia pada tahun 1977. Jadi, sebetulnya saya sudah berhak memakai MPG dan kendit warna merah (Pemuka Pemuda) sebelum ikut LKKP ulangan di Paskibraka 1978 (yang justru memberi saya MPG dan kendit hijau alias Pemula Pemuda). Lucu ya....

Nah, dalam buku kecil itu terlihat betapa setiap detil latihan ibarat “ritual” yang kait-berkait, serta harus dilaksanakan dengan tertib dan khidmat. Lampiran buku itu menjelaskanlah tata susunan ruang upacara pengukuhan dan pidato pengantar pengukuhan. Membacanya, terbayang sebuah prosesi ritual yang benar-benar khusyuk... Tak heran bila selalu menghasilkan bukan hanya tetesan, tapi acapkali deraian airmata... “Padamu Negeri Kami Berbakti, Padamu Negeri Jiwa Raga Kami....”

Masihkah kita menyaksikan Pengukuhan Paskibraka seperti itu sekarang ini?

Sejalan dengan makin naiknya popularitas Paskibraka di tahun 70-an, maka upacara pengukuhan (tingkat Nasional) pun mulai naik kelas. Dari hanya dipimpin Pembina, menjadi upacara yang dipimpin Direktur PGM, lalu Dirjen Diklusepora (PLSOR), naik lagi ke Mendikbud dan akhirnya sampai ke tahta tertinggi: Presiden RI.

Tetapi, semenjak “acara belakang asrama” itu melayang ke tingkat paling tinggi, terasa pula ritual itu semakin kehilangan “rohnya”. Prosesi indah yang telah dirancang Mutahar, dan selalu ada di kepala saya —karena saya masih mengalaminya saat dikukuhkan oleh Mendikbud— kini terasa bolong-bolong dan dipotong-potong di sana-sini. Kalau itu dipertanyakan, jawabannya hanya satu: protokoler presiden tidak memungkinkan prosesi itu dilaksanakan seluruhnya. Artinya, Presiden tidak punya cukup waktu untuk mengikuti prosesi Pengukuhan Paskibraka yang telah disusun Mutahar.

(Ah, terlalu ekstrim kalau saya menganalogikannya ibarat shalat tanpa rukuk atau sujud... hanya gara-gara harus dipercepat karena banyak orang lain yang mesti menggunakan masjid tempat kita shalat...)

Suatu waktu, seorang kakak Paskibraka, pernah bisik-bisik di telinga saya dan bilang kalau dirinyalah yang “punya andil” mengangkat gengsi pengukuhan Paskibraka ke hadapan Presiden. Benar atau tidak, saya lalu bertanya dalam hati, “Kalau benar itu atas gagasan Purna Paskibraka sendiri, mengapa tidak sekalian menjelaskan kepada Presiden bahwa prosesi pengukuhan ‘anak bangsa pilihan’ itu sebenarnya sangat baik dan memberikan salinan konsepnya?” Saya yakin, bila hal itu dilakukan, siapa pun Presidennya, tidak akan pernah menolak menyediakan tambahan sedikit waktu untuk menuntaskan prosesi Pengukuhan agar tercapai maksudnya.

Akhirnya, saya hanya bisa mengurut dada... Ternyata, memang kita-kita para Purna Paskibraka sendiri yang tak lagi mau memahami konsep Latihan Paskibraka dan melestarikannya. Di luar kita selalu berteriak kalau pembinaan Paskibraka sekarang kualitasnya kian menurun, tapi di saat-saat yang dibutuhkan kita sendiri pula yang membiarkan semuanya terjadi.

Karena itu, wajarlah bila orang-orang luar yang tidak paham Paskibraka menganggap enteng dan dengan mudah mengubah-ubah konsep itu dengan alasan yang dianggap rasional. Dan kita pun diam saja, menganggap itu hal biasa...

Masih kurang puas dengan perasaan sendiri dan ingin mendapatkan jawaban pasti, saya dan teman-teman Paskibraka 1978 mengusulkan adanya “ULANG JANJI” dalam Reuni Alumni Paskibraka Nasional 2008. Saya menyodorkan susunan prosesi dan pidato pengantar pengukuhan yang lama, dengan harapan agar adik-adik yang tidak mengalaminya masih bisa merasakan, “Oo... seperti ini pengukuhan yang dulu dilakukan oleh Kak Mutahar...”

Apa yang terjadi?

Beberapa kakak Paskibraka tertua yang ditunjuk memimpin “Ulang Janji” kembali menyunat lembaran yang saya berikan. “Ini bertele-tele dan terlalu lama...” kata mereka. Kening saya berkerut, reuni dari pukul 10.00 sampai 16.00, selama enam jam, dihabiskan untuk kangen-kangenan dan hahahihi.. dan mereka masih tidak rela menyisihkan satu jam untuk acara paling penting: prosesi mencium bendera dan pengucapan ulang “Ikrar Putra Indonesia”!

Waktu memang selalu mengubah manusia, tak terkecuali manusia Paskibraka. Ketika dilatih saat remaja, ikut dalam “game”-nya Mutahar dan Idik, kita membayangkan diri kita adalah “ksatria bersayap garuda” yang kelak akan mengubah negeri ini menjadi lebih baik.

Begitu waktu berlalu, dan kita masuk dalam “game” sebenarnya yang lebih besar, lebih keras —dan lebih kotor—, maka kita tak bisa lagi mengangkat kepala apalagi meneriakkan sepatah kata. Kita justru larut dalam permainan yang seharusnya bisa kita hindari, karena sebenarnya kita bisa mengajak orang lain untuk masuk dalam permainan kita.

Saya dan 20 orang Paskibraka 1978, sudah pernah melakukan “Ulang Janji” pada Reuni tahun 1994. Yang memimpinnya adalah Kak Mutahar sendiri, tanpa naskah apapun yang dipegang, kecuali Ikrar Putra Indonesia. Namun, pengantar yang diberikan oleh Kak Mut dalam kalimatnya sendiri dan prosesi ulang janji itu mampu membuat kami kembali menangis. Itulah dalamnya arti sebuah “ritual belakang asrama” yang sebenarnya...

Begitulah... pusaka dari Mutahar dan Idik mungkin berangsur-angsur akan jadi sekadar barang simpanan. Kita hanya bisa membanggakan atribut-atribut megah yang tercetak di kain sutra pembungkusnya. Sampai akhirnya, kita sendiri tak tahu siapa diri kita. Apakah masih Paskibraka??

Renungan ini ditulis oleh:

SYAIFUL AZRAM, Paskibraka 1978