Saya adalah seorang alumni Paskibraka tingkat nasional yang sudah puluhan tahun tidak pernah berhubungan dengan teman-teman seangkatan saya. Bagi saya, mereka telah hilang meski bayang-bayangnya masih terlihat setiap kali saya menonton upacara 17 Agustus di layar televisi.
Jarang ke Jakarta karena saya bekerja di daerah, membuat saya tidak lagi tahu bagaimana kabar para pembina. Saya pun sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa membangkitkan kenangan itu. Beberapa lembar foto yang saya jaga bertahun-tahun, tiba-tiba lenyap begitu kebakaran menghanguskan rumah orangtua saya.
Kini, angin membawa saya saya pindah ke Jakarta. Kota metropolitan yang dulu saya kenal sangat ramai, kini semakin meriah dan menjadi kota megapolitan. Di tengah hutan beton yang semakin menjamur, saya menuju Stasiun Gambir. Bukan untuk naik kereta api, tapi mencari Direktorat PGM yang ada di depannya. Hanya itu satu-satunya petunjuk bagi saya untuk mencari teman-teman.
Tapi di sana tidak saya temukan siapa-siapa. Tak ada orang yang bisa menjelaskan ke mana saya harus bertanya. Lalu saya mencarinya ke Gedung Depdiknas Senayan. Tapi, si sana pun tak ada lagi Direktorat PGM, apalagi orang yang kenal. Saya mencoba pula datang ke Kantor Menpora yang katanya sekarang membina Paskibraka. Jawabannya tetap sama: gelap. Ke mana saya harus mencari teman-teman dan pembina saya?
***
Rasa putus asa seorang alumni Paskibraka di atas memang hanyalah sebuah pikiran yang berkelebat di kepala saya. Sebuah ilustrasi khayalan yang menempatkan saya pada posisi itu, bila saya baru pindah ke Jakarta sekarang. Tapi suatu saat, kemarin, sekarang, atau suatu saat nanti, mungkin akan menjadi sebuah kenyataan. Terlihat seolah-olah mudah karena Paskibraka selalu ada di depan mata kita setiap 17 Agustus. Namun, untuk mencari jejak-jejaknya di Jakarta, apalagi di hari-hari biasa, adalah sebuah petualangan yang melelahkan.
Paskibraka usianya telah mencapai 42 tahun. Ibarat manusia, usia itu sudah cukup matang dalam membangun sebuah kedewasaan. Dan sudah sampai pula waktunya untuk berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat selayaknya manusia dewasa.
Tapi ternyata, usia sebuah korps —yang dilahirkan dari gagasan mulia menjadikan pemuda sebagai penerus cita-cita Merah-Putih— bukanlah sesuatu yang menentukan. Terlalu sedikit di antara mereka yang mempunyai hasrat untuk menjadikan korps kebanggaannya sebagai sebuah fondasi yang harus selalu dijaga kekuatannya. Agar setiap bangunan yang berdiri di atasnya bisa tetap kokoh.
Terlalu banyak di antara mereka yang hanya mampu bangga menyebut dirinya Paskibraka dan menikmati kebanggaan itu sebagai simbol tanpa makna. Mereka sesungguhnya tak pernah berbuat apa pun untuk membuktikan dan mempertahankan kebanggaannya. Dan ketika orang bertanya tentang asal mereka, sejarah masa awal keemasan mereka dan jejak-jejak kebesaran mereka, tak ada seorang pun yang bisa menjawab.
Saya pun lalu berkhayal lagi, seandainya di Jakarta para alumni Paskibraka mempunyai sebuah ”rumah”. Rumah itu dibangun bersama dan menjadi tempat berteduh yang nyaman bagi setiap alumni. Tempat berkumpul dan berbincang, penuh keakraban dan canda ria. Tempat seseorang bertemu dengan teman-teman seangkatannya. Tempat kakak bertemu dengan adik-adiknya. Tempat anak didik bisa bertemu dengan pembinanya. Tempat semua orang bisa bertemu dengan saudara-saudaranya.
Lalu, di rumah itu disimpanlah seluruh barang-barang yang pernah menjadi bagian dari sejarah Paskibraka. Para alumni menyumbangkan barang-barang kenangan saat menjalani latihan di Jakarta dan diletakkan di rumah itu sebagai sekumpulan memorabilia.
Setiap alumni yang sudah berkeluarga bisa datang ke ”Rumah Paskibraka” membawa anak-anaknya. Lalu berkata kepada mereka, ”Nak, seperti inilah dulu seragam yang Bapak pakai sewaktu menjadi Paskibraka. Topi kuning dengan penutup punggung ini masih tetap dipakai sampai sekarang.”
Pakaian seragam asli sumbangan para alumni —maupun replika— disusun berderet tahun demi tahun, mulai 1967. Berbagai atribut, kelengkapan upacara, bahkan kalau mungkin bekas tali bendera yang dipakai pada setiap 17 Agustus pun ada di sana.
Di sekretariat Rumah Paskibraka ada arsip-arsip dokumentasi yang berisi data seluruh alumni Paskibraka. Data itu selalu diperbarui setiap kali alumni berpindah domisili atau tempat bekerja. Lalu disiarkan dan dapat dilihat oleh siapa saja melalui media yang terbuka dan dapat diakses oleh seluruh alumni Paskibraka.
Secara periodik, Rumah Paskibraka mengadakan pertemuan yang bertujuan untuk membangkitkan kembali semangat kebersamaan dan rasa cinta tanah air. Pembina dan orangtua dihadirkan untuk memberikan nasihat-nasihat yang menyejukkan dan menggugah perasaan. Menjadi pengobat hati yang mungkin sedang gundah didera kerasnya kehidupan. Dan seterusnya... dan seterusnya...
***
Ah, terlalu jauh saya berkhayal. Terlalu muluk harapan yang saya gantungkan pada saat segala sesuatunya masih berupa bilangan hampa. Belum ada seorang pun yang pernah mencoba. Bahkan, dalam kenyataan, catatan sejarah yang tadinya ada pun kini hilang entah ke mana. Terlalu kecil kepedulian kita terhadap sejarah yang mencatatkan asal muasal kita.
Tapi, di sudut hati kecil saya, masih ada sebuah keyakinan bahwa ada banyak orang-orang yang merasa seperti saya. Mereka sebenarnya ingin berbuat sesuatu, namun tidak tahu dari mana memulainya. Sering mereka mempercayakan harapan itu kepada sekelompok orang yang mereka pikir mampu, tetapi ternyata pilihan mereka salah.
Kini, saya hanya mencoba lebih rajin bercermin diri. Mengamati gurat-gurat di wajah saya yang semakin hari semakin jelas berubah menjadi lipatan-lipatan kecil. Menghitung lembaran-lembaran rambut saya yang tiap hari kian banyak berubah warna menjadi putih.
Dalam hati saya hanya berdoa, semoga tubuh saya yang semakin tua ini belum terlambat untuk berbuat sesuatu yang berguna buat generasi berikutnya, anak-anak saya dan —kalau mungkin— cucu-cucu saya. Akan saya buat mereka bangga bahwa ayah mereka, kakek mereka, dulu pernah menjadi seorang anggota Paskibraka dan tetap menjadi Paskibraka sampai akhir hayatnya.***